Dahlan Iskan: Temuan Inefisiensi yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun
detikcom |
Contohnya ini: Rabu subuh kemarin, saya mencuri waktu sebelum mengikuti acara peresmian pelabuhan kontainer Kariangau Balikpapan oleh Bapak Presiden SBY. Masih ada sedikit waktu untuk saya menyelinap ke Senipah. Jaraknya memang 1,5 jam dari Balikpapan, tapi dengan sedikit ngebut masih akan oke.
Di Senipah sedang dibangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 80 MW. Awalnya, sebelum saya menjabat Dirut PLN, proyek ini menghadapi persoalan birokrasi besar. Saya datang ke Senipah di dekat muara Sungai Mahakam itu. Persoalan selesai. Proyek bisa dibangun.
Ini penting bukan saja agar kekurangan listrik di Kaltim segera teratasi, tapi PLN pun bisa berhemat triliunan rupiah. Lebih efisien. Kasus Kaltim ini (juga Kalselteng) sangat memalukan bangsa. Daerah yang kaya energi justru krisis listriknya terparah.
Kini, ketika pembangunan PLTG Senipah itu hampir selesai, ada persoalan lagi. Untuk membawa listrik itu ke Balikpapan dan Samarinda harus melewati tanah Pertamina. Saya pun harus mencarikan jalan keluar. Beres. Tiga bulan lagi proyek ini sudah menghasilkan listrik. Efisiensi triliunan rupiah segera terwujud.
Dengan kata lain, selama ini telah terjadi inefisiensi triliunan rupiah di Kaltim. Inefisiensi ini tidak ditemukan oleh BPK.
Contoh lain lagi: krisis listrik di Jambi juga termasuk yang paling parah. Padahal di Jambi banyak ditemukan sumber gas. Tapi PLN membangkitkan listrik dengan BBM. Terjadilah inefisiensi triliunan rupiah di Jambi. BPK juga tidak menemukan inefisiensi di Jambi ini.
Saya segera memutuskan pembangkit yang sudah nganggur di Madura dibawa ke Jambi. Sejak kabel listrik untuk Madura dilewatkan jembatan Suramadu, tidak ada lagi kekhawatiran Madura kekurangan listrik. Jambi pun lebih efisien.
Ada lagi gas Jambi yang sudah bertahun tidak digunakan. Berapa triliun inefisiensi telah terjadi. Ini juga tidak ditemukan BPK. Saya segera memutuskan membangun CNG (compressed natural gas) di Sei Gelam, di luar kota Jambi. Agar gas yang ditelantarkan bertahun-tahun itu bisa dimanfaatkan.
Minggu lalu, tengah malam, dalam rangkaian meninjau proyek sapi di Jambi, saya bersama Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, meninjau proyek CNG ini. Sudah hampir selesai. Saya bayangkan betapa besar efisiensinya. Bahkan, Jambi yang dulunya krisis listrik akan bisa "ekspor" listrik.
Contoh lagi: Suatu saat pemerintah membuat keputusan yang tepat: gas jatah PLN dialihkan untuk industri yang kehilangan pasokan gas. Jatah gas PLN dikurangi. Akibatnya PLN berada dalam dilema: menggunakan BBM atau mematikan saja listrik Jakarta. Pembangkit besar di Jakarta itu (Muara Karang dan Muara Tawar) memang hanya bisa dihidupkan dengan gas atau BBM. Tidak bisa dengan bahan bakar lain.
Tentu PLN tidak mungkin memilih memadamkan listrik Jakarta. Bayangkan kalau listrik Jakarta dipadamkan selama berbulan-bulan. Maka digunakanlah BBM.
Kalau keputusan tidak memadamkan listrik Jakarta itu salah, saya siap menanggung risikonya. Saya berprinsip seorang pemimpin itu tidak boleh hanya mau jabatannya tapi tidak mau risikonya. Maka dia harus berani mengambil keputusan dan menanggung risikonya.
Kalau misalnya sekarang saya harus masuk penjara karena keputusan saya itu, saya akan jalani dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya!
Saya pilih masuk penjara daripada listrik Jakarta padam secara masif berbulan-bulan, bahkan bisa setahun, lamanya. Saya membayangkan mati listrik dua jam saja orang sudah marah, apalagi mati listriknya berbulan-bulan.
Sikap ini sama dengan yang saya ambil ketika mengatasi krisis listrik di Palu. Waktu itu saya sampai menangis di Komisi VII. Saya juga menyatakan siap masuk penjara. Daripada seluruh rakyat Palu menderita terus bertahun-tahun.
Akibat keputusan saya untuk tidak memadamkan listrik Jakarta itu memang berat. PLN inefisiensi triliunan rupiah. Tapi pabrik-pabrik tidak tutup, PHK ribuan buruh terhindarkan, dan Jakarta tidak padam selama setahun!
Apakah PLN harus memberontak terhadap putusan pemerintah itu? Tentu tidak. Putusan itu sendiri sangat logis. Kalau industri tidak dapat gas, berapa banyak pabrik yang harus tutup. Berapa ribu karyawan yang kehilangan pekerjaan. Alangkah ributnya. Indonesia pun kehilangan kepercayaan.
Sekali lagi, jangankan dipanggil Komisi VII. Masuk penjara pun saya jalani dengan sikap ikhlas seikhlas-ikhlasnya!
Ini mirip Pertamina yang juga tidak mungkin tidak menyalurkan BBM ke masyarakat meski kuota BBM bersubsidinya sudah habis. Atau juga seperti BUMN lainnya, PT Pupuk Indonesia, yang November/Desember nanti tidak mungkin tidak menyalurkan pupuk ke petani. Padahal kuota pupuk subsidi sudah akan habis.
Saya tahu pepatah ini: kian tinggi kian kencang anginnya. Tapi saya juga tahu lelucon ini: kian besar kembung perut, kian besar buang anginnya!
Contoh lain lagi: Secara mendadak, saat menjadi Dirut PLN saya memutuskan membangun transmisi dari Tentena ke Palu lewat Poso. Sejauh 60 km. Harus melewati hutan dan gunung. Tahun depan transmisi ini harus jadi. Ini akan bisa mengalirkan listrik dari PLTA Poso milik Pak Kalla yang begitu murah tarifnya ke kota Palu.
Kalau tidak ada transmisi ini PLTA di Sulteng tidak bisa untuk melistriki Sulteng, tapi justru melistriki propinsi lain. Akibatnya, inefisiensi di PLN Sulteng akan terus terjadi. Dengan nilai triliunan rupiah. Ini juga tidak ditemukan oleh BPK.
Saya terus memonitor pembangunan transmisi ini agar inefisiensi yang sudah terjadi bertahun-tahun itu segera berakhir.
Belakangan ini ada masalah besar di proyek itu. Terutama sejak dua polisi Poso tewas di hutan oleh teroris. Para pekerja yang memasang transmisi itu tidak berani masuk hutan. Dua polisi tersebut pernah ikut mengamankan proyek ini.
Begitu pentingnya proyek ini saya minta PLN tidak menyerah pada ancaman teroris. Kalau perlu minta tolong Zeni TNI AD untuk mengerjakannya.
Efisiensi yang akan terjadi triliunan rupiah. Listrik untuk Palu pun lebih terjamin. Program ini tidak boleh gagal oleh gertakan teroris.
Contoh lain yang lebih menarik: di laut utara Semarang ditemukan sumber gas. Pemilik sumur gas itu sudah setuju menjual gasnya ke PLN. Harganya pun sudah disepakati. Tapi bertahun-tahun perusahaan yang memenangkan tender untuk membangun pipa gas itu tidak kunjung mengerjakannya. Bukan PLN yang mengadakan tender. PLN hanya konsumen.
PLN gagal mendapatkan gas sampai 100 MMBtu. Di sini PLN inefisiensi triliunan rupiah. BPK juga belum menemukan inefisiensi ini.
Contoh-contoh inefisiensi seperti itu luar biasa banyaknya. Dan triliunan rupiah nilainya. Itulah sebabnya mengapa saya benar-benar ingin menjabat Dirut PLN sedikit lebih lama lagi. Agar saya bisa melihat hasil-hasil pemberantasan inefisiensi di PLN lebih banyak lagi.
Apakah Komisi VII DPR tidak tahu semua itu? Sehingga memanggil saya untuk menjelaskannya?
Saya tegaskan: Komisi VII sangat tahu semua itu. Kalau pun merasa tidak tahu, kan ada Dirut PLN yang baru, Nur Pamuji. Pak Nur bisa menjelaskan dengan baik, bahkan bisa lebih baik dari saya. Apalagi waktu itu beliau menjabat Direktur PLN urusan energi primer.
Hampir tidak ada relevansinya memanggil Menteri BUMN ke Komisi VII. Tapi, kalau pun saya dipanggil lagi, saya akan hadir: saya juga sudah kangen pada mereka. Dan mungkin mereka juga sudah kangen saya. Sudah setahun saya tidak melucu di Komisi VII.
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Menteri BUMN
sumber: detikcom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar