Kompas.com |
Hujan yang mulai turun sekitar pukul 15.00 itu memicu berbagai reaksi dari warga Jakarta yang terjebak kemacetan. Di jejaring sosial dunia maya, seperti Twitter dan Facebook, berbagai keluhan, umpatan, dan humor kreatif pun mengemuka. Kreativitas itu muncul karena terlalu lelah menghadapi macet.
Marya (26), karyawan swasta, yang hendak pulang dari Kebayoran Lama menuju Tanjung Priok menuturkan, dia dan para penumpang metromini yang dinaikinya terpaksa turun di Mayestik dan berjalan kaki ke Blok M karena bus tidak bergerak selama lebih dari satu jam.
”Sejak jam 18.45 sampai jam 20.05 metromini sama sekali tidak berjalan. Baru setelah jam 20.05 metromini bisa berjalan pelan-pelan. Saya jadi harus turun lalu jalan kaki ke Blok M agar bisa segera dapat bus ke Tanjung Priok,” ujarnya.
Kemacetan juga membuat Dina (31) terjebak selama dua jam di dalam bus transjakarta yang diam di tempat di sekitar Roxy. Dia hendak pulang ke Tomang dari tempat kerjanya di Pulo Gadung.
”Saya empat jam di jalan dan belum juga sampai rumah. Untung saya hamil, jadi dapat prioritas tempat duduk. Coba kalau berdiri, entah bagaimana rasanya. Duduk saja tidak bisa bergerak,” katanya.
Di jejaring sosial Twitter, muncul banyak komentar bernada geram yang dilontarkan dengan kocak. Gunawan, misalnya, menuliskan, ”Untung sudah bisa berenang. Siap-siap kalau Jakarta nanti berubah jadi kolam renang”.
Kris, salah seorang pengguna Twitter tidak kalah kreatif. Dia menulis, ”Jakarta Bebas Banjir. Maksudnya, banjir bebas ke mana saja”.
Wartawan senior Rosiana Silalahi di Twitter menuliskan, ”Dari Kuningan ke Pejaten: 3,5 jam saja dan sampai skrg msh terdampar di kemacetan tak berujung. Manteeb thoo...”.
Artis Dona Harun saat dihubungi bercerita, pukul 17.00, suaminya berangkat dari rumah di Jalan Intan Raya, Cilandak Barat, menuju Dharmawangsa Square untuk satu pertemuan. ”Biasanya dia cuma membutuhkan waktu paling lama setengah jam, dan paling cepat 15 menit. Tapi kali ini dia baru sampai pada pukul 19.00 atau dua jam perjalanan,” tuturnya.
Celakanya, 50 meter menjelang masuk Dharmawangsa Square, sang suami yang membawa mobil Alphard itu harus menunggu sampai sejam lebih. ”Dia bilang mau turun berbasah ria juga enggak bisa. Ya udah, telepon akulah buat buang rasa jenuh di mobil,” jelas Dona.
Lain lagi cerita Tri dan Dian, karyawati perusahaan swasta di Palmerah, Jakarta Barat. Senin sore kemarin, perjalanan pulang naik kereta api tidak selancar biasanya.
”Ada informasi, rel kereta terendam di Stasiun Kampung Bandan, Tanah Abang, Kebayoran Lama, Pondok Ranji, Pondok Betung, dan mungkin beberapa titik lagi. Kereta api, seperti KRL, sebagian tidak bisa beroperasi,” kata Tri.
Tri mengatakan, biasanya pada jam-jam sibuk di sore hari, minimal ada empat rangkaian kereta yang melayani rute Tanah Abang-Palmerah-Rangkasbitung. Namun, sore kemarin, hanya KRD Rangkas Jaya yang bisa beroperasi. Rangkaian kereta lain tertahan di beberapa stasiun yang terendam banjir.
Tri dan Dian yang biasanya naik KRL menuju Tigaraksa di Tangerang dan Rawa Buntu di Serpong sekitar pukul 16.00- 17.00, kemarin baru bisa terangkut kereta pada pukul 19.30. ”Saya dua kali mau naik KRL tetapi tidak jadi karena KRL- nya terlalu penuh” ujar Tri.
Jika Tri dan Dian akhirnya bisa naik kereta, tidak demikian dengan Hari Sasmito (48). Dia menunggu kereta di Stasiun Palmerah sejak pukul 16.00. Namun, hingga pukul 21.00, kereta yang ditunggunya tidak kunjung datang. ”Padahal keluarga mengabari kalau rumah saya juga kebanjiran,” kata Hari yang tinggal di Sarua Permai, Pamulang, Tangerang.
Dona yang kala itu berada di rumah berulang kali menerima keluhan banjir dari teman-temannya lewat telepon selulernya. Kata mereka, banjir di mana-mana. ”Mau bilang apa? Mengkritik? Mengeluh? Mengadu? Cape deee.... Bertahun-tahun keadaan enggak pernah berubah, bahkan kian memburuk. Jawaban yang pas mungkin, ya kita tunggu aja. Ha-ha-ha..,” kata Dona.
Sumber: Kompas (26-10-2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar