Jawa Pos 16 Agustus 2010
Dahlan Iskan: Risiko Dihujat
Listrik di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, padam. Heboh. Ribuan penumpang ngomel, marah, dan menghujat. Terutama menghujat PLN. Dan juga tentu menghujat saya. Apalagi, mati listrik itu terjadi pada waktu puncak-puncaknya: menjelang jam penerbangan pertama, di hari Jumat yang lebih ramai daripada hari apa pun, dan menjelang bulan puasa ketika banyak orang akan melakukan perjalanan suci berbakti kepada orang tua, termasuk ke kuburan mereka.Nama PLN yang selama ini sudah buruk itu hancur lebur di Bandara Soekarno-Hatta pagi itu. Bahkan, hancur di mata seluruh bangsa Indonesia. Sebuah headline surat kabar yang memang biasa mengkritik PLN menulis: Byar-pet telah memalukan bangsa!
Sungguh masuk akal bila hari itu tidak ada satu pun orang yang berpikir bahwa mati lampu di bandara tersebut bukan kesalahan PLN. Masuk akal juga kalau tidak ada yang berpikir bahwa bisa saja instalasi listrik di dalam bandara itulah yang mengalami gangguan. Bahkan aneh sekali. Mengapa UPS yang mestinya otomatis mengambil alih daya listrik secara darurat itu tidak berfungsi.
Begitulah hukum alam. Seorang koruptor yang istrinya dua dan rumahnya mewah akan kelihatan lebih jahat daripada seorang koruptor yang lebih besar, tapi istrinya satu dan rumahnya biasa saja karena berhasil menyimpan uangnya di luar negeri yang tidak ketahuan siapa pun.
Ada cerita lainnya: kontraktor Jepang, Mitsubishi, mengerjakan pemborongan pembaruan pembangkit listrik di Muara Karang, Jakarta. Alat beratnya menghantam instalasi listrik dan membuat sebagian kawasan Jakarta padam. Hari itu nama PLN juga babak belur. Masyarakat Jakarta sudah trauma. Bisa-bisa akan berbulan-bulan lagi terjadi pemadaman bergilir. Meski hari itu listrik bisa dipulihkan dalam waktu lima jam, nama sudah telanjur hancur.
Orang tahunya PLN itu memang sudah parah. Tidak mungkin Mitsubishi bisa salah. Pasti PLN yang salah. Apalagi, pihak Mitsubishi yang semula sudah setuju untuk meminta maaf secara terbuka ke publik akhirnya menolak. Alasannya, kantor pusatnya di Tokyo tidak setuju. Saya memaklumi alasan itu karena begitu perusahaan itu meminta maaf akan sangat rawan gugatan. Siapa pun yang menggugat, Mistubishi akan langsung kalah. Sudah meminta maaf berarti sudah mengakui berbuat salah. Di mata Mitsubishi barangkali muncul logika ini: sekalian saja biar PLN yang salah.
Di kota Pematang Siantar (Sumatera Utara), masyarakat yang baru saja menikmati hilangnya pemadaman bergilir bertahun-tahun menghujat PLN lagi. Kali ini listrik di kota itu memang padam cukup luas. PLN hanya bisa menerima hujatan itu, meski mati lampu tersebut sama sekali tidak disangka-sangka. Hari itu seseorang yang lagi marah mengamuk membabi-buta. Itu terjadi karena jaringan di rumahnya diputus akibat ketahuan mencuri listrik. Diam-diam dia pergi ke suatu tempat yang vital. Mengamuk dan memutuskan jaringan penting listrik di sana. Polisi memang berhasil menangkap orang tersebut, tapi kekecewaan masyarakat yang listriknya mati tidak terobati.
Di Cianjur Selatan (Jawa Barat), masyarakat juga marah. Hari itu hujan angin luar biasa hebatnya. Disertai petir dan halilintar. Jaringan di Cianjur Selatan putus. Pemulihannya memerlukan waktu lebih dari lima jam.
Kali ini PLN benar-benar salah.
Setelah diperiksa, ternyata jaringan ini terlalu panjang tanpa dipasangi LBS di tengah-tengahnya. Jaringan itu panjangnya 15 kilometer tanpa LBS sama sekali. Seharusnya, setidaknya di tiap 3 kilometer dipasangi LBS. Dengan demikian, kalaupun listrik mati karena bencana alam, perbaikannya akan lebih cepat. Tidak harus membutuhkan waktu lebih dari lima jam seperti itu. Bahwa petugas harus memulihkan jaringan itu sambil mengarungi hujan badai, itu sudah biasa. Tapi, bahwa tidak ada LBS di tengah-tengah jaringan panjang itu memang kesalahan sistem di PLN.
Setelah kejadian itu, PLN di seluruh Indonesia diminta untuk memeriksa di mana saja ada jaringan yang terlalu panjang yang tidak dipasangi LBS. Rasanya tidak perlu dijelaskan apa itu LBS karena begitu banyak peralatan listrik yang memang sulit dijelaskan. Dan tidak perlu. Yang penting listrik jangan mati.
Ternyata memang banyak listrik mati akibat kesalahan sistem PLN seperti itu.
Yang terakhir ini kesalahan saya juga: Waktu saya ke Istana Bogor Jumat lalu, saya menyempatkan diri menemui dan berdialog dengan karyawan PLN di Bogor. Hari sudah malam. Di luar lagi hujan deras. Saat itulah radio panggil petugas PLN bersuara: Lima tiang listrik di lereng Gunung Salak roboh. Saya bertanya, jam berapa ini. Sekitar jam 22.00.
Saya terus mendengarkan dialog di pesawat komunikasi itu. Suaranya agak kurang jelas. Rupanya petugas di sisi sana lagi di tengah-tengah hujan. Dia sudah berusaha untuk bersuara sekeras mungkin, tapi masih kalah dengan suara angin ribut. ''Jurangnya dalam sekali,'' bunyi suara di radio komunikasi itu.
Dari seberang sana terdengar pertanyaan apa yang harus diperbuat. Jiwa saya terbelah. Di satu pihak saya membayangkan alangkah menderitanya masyarakat yang listriknya padam di lereng Gunung Salak itu. Di lain pihak saya bergulat dengan perasaan: Akankah saya memaksa petugas itu memulihkan tiang listrik di bibir jurang yang dalam di tengah kegelapan malam yang berhujan itu? Akankah saya harus mengorbankan jiwa mereka?
Saya tercenung agak lama. Kadang sebuah keputusan begitu sulitnya.
Bahwa PLN dan saya dihujat, baik akibat kesalahan sendiri maupun bukan, tidak bisa dihindari. Tidak ada resep yang lebih baik kecuali terus bekerja keras.
Saya hanya ingat ketika awal-awal membenahi Jawa Pos pada 1982. Waktu itu begitu lemahnya Jawa Pos sehingga orang Surabaya sendiri tidak tahu di mana alamat Jawa Pos di Jalan Kembang Jepun itu.
''Di mana sih Jawa Pos itu?''
''Di depan Bank Karman,'' jawab saya.
Bank Karman. Begitu kecilnya bank itu, tapi masih lebih terkenal daripada Jawa Pos. Maka timbul dendam dalam jiwa saya: saya harus membuat Jawa Pos setidaknya akan menjadi lebih terkenal daripada Bank Karman! Kalau suatu saat ada yang bertanya di mana itu Bank Karman, akan saya jawab dengan gagah berani: di depan Jawa Pos!
Dendam yang sama kini muncul di jiwa saya. Saya harus membuat PLN lebih terkenal daripada Bandara Soekarno Hatta. Dengan demikian, kalau suatu saat ada mati lampu lagi di Bandara Soekarno-Hatta, orang tidak lagi menghujat PLN.
Saya serahkan kepada-Nya mengenai hasilnya. (*)
Dahlan Iskan, Dirut PLN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar