tulisan ini adalah sebuah pandangan atas polemik Pemerintah atas posisi Gubernur Yogyakarta
Demokrasi, mungkin kini menjadi salah satu kata yang sering diucapkan dalam ranah politik sebagai mantra sekaligus penanda, bahwa saya adalah bagian dari rakyat. Tetapi, tanpa disadari makna demokrasi mudah jatuh dalam pengertian yang dangkal.
Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008) dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos yang diartikan "rakyat" dan kratos sebagai "kekuasaan", lalu demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian apa?
Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan voting.
Pada kenyataanya, reduksi demokrasi pada sekedar sebuah sistem voting, yakni penentuan putusan atas dasar suara terbanyak, adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Dalam literatur kita mengenal setidaknya tiga model rejim: monarchia (monos = sendiri), oligarchia (hoi oligoi = sedikit), dan demokratia. Memperhatikan tiga model ini saja kita dapat mulai bertanya, pertama mengapa yang disebut terakhir tidak merujuk pada jumlah? Demokrasi, dengan kata demos tak merujuk pada jumlah melainkan pada “tubuh kolektif”.
Selanjutnya kratos adalah terkait pada power (kekuasaan).Akan tetapi kekuasaan dalam arti apa? Ada tiga arti bagi kratos, yang merentang dari “dominasi”, “aturan”, hingga “kapasitas”. Melalui analogi pada istilah Yunani isokratia yang berarti akses yang sama bagi warganegara terhadap barang publik, kratos berarti kekuasaan publik mewujudkan kebaikan umum melalui pelaksanaan hal-hal baik di ranah publik. Dengan demikian kratos - dalam pemakaian sebagai sufiks model-model rejim – berarti kapasitas untuk melakukan sesuatu. Implikasinya adalah demokratia tidak pernah berarti “demos yang memonopoli lembaga-lembaga kekuasaan”, dan tidak sekedar bermakna “demos yang memiliki kekuasaan monopolistik di antara pemegang kekuasaan lain dalam sebuah Negara”. Demokratia adalah kekuatan dan kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan umum.
Praktik berdemokrasi di zaman Yunani antik juga tak melulu berpusat pada voting. Bahwa voting perlu bagi pengambilan keputusan tidak dipungkiri, namun prinsip utamanya adalah demos terpilin atas tubuh individual yang secara sosial berbeda, keunikannya dihargai, dan masing-masing mampu memilih secara bebas sesuai dengan yang dikehendaki.
Petaka bagi demokrasi adalah ketika ia gagal setia pada makna asali. Lebih mengkhawatirkan jika demokrasi yang telah direduksi ini dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang ada, hanya karena bercermin pada partisipasi dalam pemilihan yang dianggap mewakili mayoritas. Sejak kapan istilah demokrasi dipadankan dengan “kekuasaan oleh mayoritas” atau “pengambilan keputusan melalui voting”? Kita hidup dalam mentalitas pasar, di mana ada kecenderungan aku berjuang bagi keuntunganku, tidak lebih, dan pasar lebih mengandaikan dan menyukai orang sebagai kerumunan, bukan jejaring individu yang sadar akan hak dan kapasitasnya. Bila demikian apakah voting selalu menjadi solusi?
Inspirasi dari: Prastowo Justinus, Melacak Makna Demokrasi (indoprogress.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar