- Pengadilan perkara “tilang atau pelanggaran lalu lintas” ternyata tidak rumit. Denda uang adalah hal yang sewajarnya. Namun memang bila mengikutinya (semoga saja tidak) perlu mengorbankan sebagian waktu.
- “Slip merah dan biru” kedua-duanya terbukti sampai saat kejadian masih dipergunakan oleh Polisi.
- “Pengadilan juga ada calo-nya”
- Jika
tidak bersalah dan“berhasil meyakinkan” hakim, mungkin saja anda tidak perlu membayar denda. - Ruang sidang untuk perkara “tilang atau pelanggaran lalu lintas” perlu mendapat peningkatan.
- Pada kenyataanya seringkali Polisi tidak hadir dalam sidang.
Selasa, 1 April 2008 sekitar pukul 08.00 saya sedang mengendarai sepeda motor di Jl. PHH Mustofa (Suci) Bandung yang padat merayap. Tiba disebuah perempatan saya tidak memperhatikan lampu lalu lintas, seketika itu saya yang sedang berjalan lambat ditengah kemacetan diberhentikan oleh sorang Polisi. Ternyata saya tanpa sadar telah menerobos lalu lintas. “Bagaiman ditilang saja?” tanya pak Polisi. Saat itu sempat terpikir untuk menyelesaikan permasalahan dengan Pak Polisi ditempat (“damai” -red), namun karena uang yang saya bawa sangat ‘pas-pas-an’ saya mengurungkan niat saya dan membiarkan Pak Polisi menuliskan surat tilang berwarna merah dan menahan SIM C saya. Sidang hari Jum’at, 11 April 2008 di Pengadilan Negeri Jl. R.E. Martadinata No 86 Bandung Pukul 09.00.
Waktu berjalan dan akhirnya waktu ditunggu datang Jam 08.43 saya tiba di depan Kantor Pengadilan dan parkir di bahu jalan yang sudah penuh dengan kendaraan yang juga tengah parkir. Seseorang langsung menghampiri saya yang rupanya seorang ‘calo pengadilan’. Kemudian tejadilah percakapan singkat:
Calo pengadilan : “Pak mau ngambil SIM atau STNK?”
Saya : “SIM”
Calo pengadilan : “Suratnya merah atau biru pak?”
Saya : “Merah”
Calo pengadilan : “Ya bener di sini, kalo biru ambilnya di Polres. ... .Buru-buru apa santai?”
Saya : “Santai!”
Calo pengadilan : “Kalo santai ya sidang aja, kalo buru-buru sindangnya lama!”
Lalu saya bergegas masuk kedalam kantor pengadilan. Katanya kalau pakai calo kelebihanya sekitar Rp 15.000,- dari denda yang biasa diputuskan. “Masuk aja Ruang Sidang VI” terdengar seseorang berucap, saya pikir ini pasti ‘kasus yang sama’ saya pun menuju ke Ruang Sidang VI.
Tiba di depan pintu ruang sidang terlihat ada puluhan orang berkerumun, lalu saya masuk kedalam mungkin sekitar seratus orang berjejal dalam ruang sidang yang tidak begitu luas, berdesakan menunggu untuk ‘diadili’. Saya serahkan berkas tilang kepada seorang petugas, Pak Hakim belum tiba di ruangan saat itu. Udara di dalam ruang sidang mulai terasa panas.
Sekitar pukul 09.20 Hakim tiba di ruang sidang. Kami dipangil satu-persatu, seperti seorang dokter umum yang memiliki banyak pasien pelanggan, hanya saja pemeriksaan (dan keputusan) berjalan sangat cepat. Hanya sekitar 3 menit setiap kasus diputuskan. Beberapa orang (mungkin calo pengadilan -red) dengan membawa kertas merah (surat tilang) terlihat masuk dari pintu belakang menghampiri petugas.
Setelah dipanggil, saya maju kedepan (pukul 10.13). Duduk di kursi panjang satu baris antri bersama ‘terdakwa’ lainnya yang tengah ‘berdialog’ dan menerima ketukan palu sang Hakim. Saya menerima keputusan “Bayar Rp 25.000,-” plus uang perkara (katanya) “Rp 1000,-” yang diminta ketika saya mengambil SIM C saya.
Yang menarik adalah dialog yang terjadi sebelum giliran saya.
Hakim : “Bapak ...(nama)...”
Terdakwa : “...(nama)...”
Hakim : “Kenapa ini?”
Terdakwa : “Tidak jelas saya pak”
Hakim : “Kenapa? ”
Terdakwa : “Saya tidak ditilang di tempat, disetop lagi jalan.”
Hakim : “Kenapa?”
Terdakwa : “Katanya tidak pakai sabuk (pengaman -red).”
Hakim : “Emangnya gak pake sabuk?”
Terdakwa 1 : “Pake pak. ”
Hakim : “Gak ada kesalahan lain?”
Terdakwa 1 : “Gak pak.”
Hakim : “Ya udah gak usah bayar!”
...
Ya! Akhirnya orang itu tidak didenda (bebas). Sayangnya saya tidak perhatikan apakah ia tetap membayar uang perkara (Rp 1.000,-) atau tidak ketika mengambil SIM-nya.