Busway yang cukup dibanggakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada masa kepemimpinan Sutiyoso belum juga mampu menyelesaikan masalah. Setelah tiga tahun lebih pengoperasian Busway sejak awal peluncurannya pada 15 Januari 2004, banyak warga Jakarta yang meragukan keberhasilannya. Tidak sedikit dari penguna jalan yang merasakan kemacetan bertambah parah, terlebih pada saat pembangunan infrastruktur Busway. Bahkan diawal pemerintahan Fauzi Bowo yang menggantikan Sutiyoso pada Oktober 2007, di tengah tekanan bebagai pihak, termasuk kasus pembangunan infrastruktur Busway di Pondok Indah, Pemda DKI sepertinya kehilangan percaya dirinya untuk melanjutkan proyek Busway di tahun 2008. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, Pemprov DKI Jakarta sedang mengevaluasi sistem operasional bus Transjakarta bersama Institute For Transprotation and Development Policy (ITDP). Hasil evaluasi itu akan menentukan diteruskan atau dihentikan pembangunan jalur khusus bus Transjakarta koridor XI sampai XIII, pada 2008.
Kegagalan Busway bukanlah kegagalan yang hanya diemban oleh proyek busway itu saja, tidak efektifnya busway merupakan kegagalan rencana penerapan sistem transportasi Jakarta keseluruhan. Bila saja monorel dapat diimplementasikan pada tahun 2007 sebagaimana rencana awal pada kepemimpinan Sutiyoso, dan pembangunan MRT dan subway yang sebenarnya sudah diisukan sejak tahun 1990-an dapat dipercepat, belum lagi program banjir kanal yang master plan sudah ada sejak zaman Belanda yang dimungkinkan untuk penyediaan transportasi air, mungkin wajah transportasi Jakarta akan jauh bebeda dengan apa yang terlihat sekarang ini. Jakarta juga tidak bisa sendirian dalam menyelesaikan masalah transportasinya, demikian pula Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Satu perjalanan di Jabodetabek tidak mungkin digeneralisasi terbatas hanya bergerak pada satu wilayah administratif. Pengalaman Studi Integrated Transport Master Plan (SITRAMP) SITRAMP JABODETABEK memperlihatkan bahwa masterplan transportasi regional Jakarta dan kota-kota satelitnya tidak bisa diimplementasikan selama tidak ada pola keterkaitan yang baik (Bambang Susantono, 2007).
Busway tidak dapat berdiri sendiri, memangku beban berat sebagai salah satu moda transportasi masal sebagaimana banyak masyarakat menilai saat ini. Dalam pemaparan sosialisasi pembangunan MRT Lebak Bulus – Dukuh Atas / Monas pada tahun 2006, Departemen Perhubungan menyakan bahwa Busway berfungsi sebagai penunjang dari MRT. Artinya, sebenarnya Busway hanya ditujukan sebagai penopang dari moda transportasi yang lebih massal lainnya (MRT/KRL) yang kewenagan penanganannya ada pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Namun belum tersedianya MRT/KRL secara baik dalam kapasitas maupun jaringan menyebabkan Busway yang sebagian telah menjangkau lokasi-lokasi yang belum dicapai oleh MRT/KRL menjadi alternatif utama para commuter, kondisi demikian mengakibatkan Busway mengalami overload baik di dalam Bis maupun didalam shelter-shelter, khususnya shelter transfer antar koridor.
Kegagalan Busway bukanlah kegagalan yang hanya diemban oleh proyek busway itu saja, tidak efektifnya busway merupakan kegagalan rencana penerapan sistem transportasi Jakarta keseluruhan. Bila saja monorel dapat diimplementasikan pada tahun 2007 sebagaimana rencana awal pada kepemimpinan Sutiyoso, dan pembangunan MRT dan subway yang sebenarnya sudah diisukan sejak tahun 1990-an dapat dipercepat, belum lagi program banjir kanal yang master plan sudah ada sejak zaman Belanda yang dimungkinkan untuk penyediaan transportasi air, mungkin wajah transportasi Jakarta akan jauh bebeda dengan apa yang terlihat sekarang ini. Jakarta juga tidak bisa sendirian dalam menyelesaikan masalah transportasinya, demikian pula Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Satu perjalanan di Jabodetabek tidak mungkin digeneralisasi terbatas hanya bergerak pada satu wilayah administratif. Pengalaman Studi Integrated Transport Master Plan (SITRAMP) SITRAMP JABODETABEK memperlihatkan bahwa masterplan transportasi regional Jakarta dan kota-kota satelitnya tidak bisa diimplementasikan selama tidak ada pola keterkaitan yang baik (Bambang Susantono, 2007).
Busway tidak dapat berdiri sendiri, memangku beban berat sebagai salah satu moda transportasi masal sebagaimana banyak masyarakat menilai saat ini. Dalam pemaparan sosialisasi pembangunan MRT Lebak Bulus – Dukuh Atas / Monas pada tahun 2006, Departemen Perhubungan menyakan bahwa Busway berfungsi sebagai penunjang dari MRT. Artinya, sebenarnya Busway hanya ditujukan sebagai penopang dari moda transportasi yang lebih massal lainnya (MRT/KRL) yang kewenagan penanganannya ada pada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Namun belum tersedianya MRT/KRL secara baik dalam kapasitas maupun jaringan menyebabkan Busway yang sebagian telah menjangkau lokasi-lokasi yang belum dicapai oleh MRT/KRL menjadi alternatif utama para commuter, kondisi demikian mengakibatkan Busway mengalami overload baik di dalam Bis maupun didalam shelter-shelter, khususnya shelter transfer antar koridor.