Hampir semua orang umumnya memandang kemiskinan sebagai ketiadaan harta, pemahaman ini memang tidak dapat disalahkan, karena aspek utama kemiskinan selalu dilihat dari sudutpandang ekonomi. Namun apakah kekurangan harta atau rendahnya pendapatan merupakan fator utama penyebab kemiskinan?
Berikut sebuah cara padang yang juga layak untuk perhatikan, yaitu melihat kemiskinan dengan pendekatan kapabilitas (keberdayaan).
Amartya Sen (1999), dalam Development as Freedom, mengusulkan untuk melihat kemiskinan sebagai ketiadaan kapabilitas (capability deprivation) daripada hanya menekankan pada rendahnya pendapatan. Pandangannya tidak mengelak bahwa rendahnya pendapatan sebagai salah satu penyebab utama kemiskinan, kerena rendahnya pendapatan pada prinsipnya dapat berpengaruh terhadap ketiadaan kapabilitas seseorang. Dalam tulisan yang sama, ia juga berargumentasi bahwa ketidak cukupan pendapatan juga seringkali menjadi pendorong kuat untuk meingkatkan hidup seseorang.
Amartya Sen (1999) menungkapan pendekatan kapabilitas atas kemiskinan sebagai berikut:
- Pendekatan kapabilitas berkonsentrasi pada bentuk ketidakberdayaan yang nyata-nyata sangat penting (instrinsik), sementara pendekatan pendapatan hanya pada unsur instrumen-instrumen;
- Bahwa ada pengaruh ketiadaan kapabilitas pada kemiskinya yang nyata, selain dari rendahnya pendapatan (rendahnya pendapatan bukan satu-stunya penyebab kemiskinan);
- Hubungan instrumental antara tingkat pendapatan yang rendah dan kapabilitas yang rendah bervariasi dan bergantung pada personal/kelompok dan konteks permasalahan.
Sonny Yuliar (2007) memberi ilustrasi pendekatan kapabilitas atas kehidupan sosial sebagai berikut, “Tingkat pendapatan juga tidak menggambarkan ketidakberdayaan relatif seseorang dalam lingkungan sosialnya. Meski tingkat pendapatan seseorang adalah tinggi dalam standar internasional, orang tersebut dapat mengalami ketegangan-ketegangan akibat tuntutan lingkungan sosialnya, seperti tuntutan untuk mengikuti gaya hidup (life style) tertentu. Di masyarakat kota, untuk terlibat dalam interaksi sosial dituntut kepemilikian akan, sekurang-kurangnya, televisi dan telepon seluler. Hal ini menimbulkan ketegangan pada mereka yang relatif miskin, meski pendapatannya lebih tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di desa.” ilustrasi tersebut memberi gambaran bahwa seorang yang memperoleh pendapatan tinggi pun dapat merasakan kekurangan (kemiskinan) ketika harus mengimbangi gaya hidup lingkungan sosial tertentu.
Pendekatan kapabilitas terhadap kemiskinan akan menekankan aspek instrinsik dalam upaya pengentasan kemiskinan, bukan pada aspek instrumental. Sebaliknya, pendekatan ekonomi (tingkat pendapatan) cenderung menekankan aspek instrumental dari kemiskinan. Meski tingkat pendapatan terpaut dengan kapabilitas, kedua aspek tersebut berbeda secara mendasar.