Minggu, Oktober 24, 2010

Mengenal Al Idrisiyyah

Al-Idrisiyyah adalah aliran tarekat yang didirikan Sayyid Ahmad bin Idris al-Fasi (w. 1253 H) yang memperoleh pelajaran tasawufnya dari Sayyid Abdul Wahhab at Tazy (w. 1131 H.), seorang sufi reformer berasal dari Afrika. Abdul Wahhab aI-Tazi ini juga guru dari Sayyid Muhammad Ali al-Sanusi al Kabir (orang Barat menyebutnya the Grand Sanusi). Pendiri Tarekat Sanusiyah. Karenanya tak mengherankan jika antara kedua tarekat ini terdapat banyak kesamaan terutama dalam ajaraan-ajarannya, sebab kedua tarekat ini berasal dari guru yang sama.

Sebutan Idrisiyyah, adalah nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris. Sebagaimana Tarekat Sanusiyah, Tarekat Idrisiyah pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libia, Yaman dan sebagainya serta daerah-daerah lainnya seperti Saudi Arabia, Mesir, dan lain-lain. Adalah para jemaah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran tarekat ini. Ini terjadi karena selama sekitar 36 tahun Ahmad bin Idris menjadi guru di Makkah yang di ikuti murid-murid berasal dari berbagai daerah.

Di Indonesia, Tarekat Idrisiyyah nampaknya kurang populer jika dibanding dengan tarekat-tarekat lainnya, seperti Tarikat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, tarekat ini jarang dibicarakan. Buku.Pangantar llmu Tarekat (Bulan Bintang, 1985) karangan Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung tarekat ini. ltupun tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai tarekat Sanusiyah.

Masuknya Tarekat Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, dengan Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fatah sebagai tokoh pertamanya. Beliau lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1884 M/1303 H, anak ke-3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh ponyebar Islam di P. Jawa, yaitu Sunan Deraiat.

Suatu hari guru dari Abdul Fatah Haii Suja'i. membahas Surat Kahfi ayat ke. 17, yang artinya "Barang siapa diberi petunjuk Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tak akan mendapatkan seorang pemimpin (waliyyan mursyida) yang memberi petunjuk kepadanya." Abdul Fatah bertanya siapakah yang dimaksud waliyyan mursyida dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk "waliyyan mursyida". Namun jawaban sang guru adalah "Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya,".

Sejak itu Abdul Fatah izin untuk mencari orang yang disebut "waliyyan.mursyida". Pada 1924 Abdul Fatah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura kapal yang. Ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun. Barulah pada 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Makkah. Sampailah ia di Jabal Abu Qubais dan di tempat ini ia berguru kepada Syaikh Ahmad Syarif Sanu­si. Dari Syaikh inilah ia peroleh ilmu tarekat yang dikembangkan oleh Ahmad bin ldris.
hudan-ibnul-iman.blogspot.com
Sekembalinya di Indonesia Abdul Fatah mengembangkan tarekat ini. Mula-mula di Jakarta, lalu di Cidahu, Tasikmalaya. Di Cidahu tarekat Al Idrisiyyah cepat dikenal. Salah satu yang membuat kelompok tarekat ini cepat dapat perhatian, mungkin karena cara berpakaian yang menyerupai orang-orang Arab, yaitu pakaian serba putih serta berjenggot. Karena Itu mereka dijuluki kaum putih dan kaum jenggot.

Seperti gerakan Islam lainnya, gerakan Al-Idrisiyyah ini pun tak luput dart pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda. apalagi ajarannya memiliki kemiripan dengan ajaran tarekat Sanusiyah di AIjazair yang di tuduh merongrong kekuasaan kolonial Perancis. "Syaikh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda. sekurang-kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuasaan Perancis di AIjazair." tulis Snouck Hurgronje soperti dikutip Delliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indoensia. (LP3ES. 1980. hal 29).

Pada masa pendudukan Jepang Tarekat Idrisiyah malancarkan sikap non-kooperatif dengan Jepang. Akibatnya, pemimpinnya, Abdul Fatah, harus mendekam di tahananan Jepang selama 10 bulan.

Syaikh Muhammad Fathurahman, M.Ag
Setelah Cidahu dianggap sudah tak memadai lagi, maka pada 1947 pusat gerakan tarekat Idrisiyyah, dipindahkan ke desa Pagendingan Cisiyong. Memanfaatkan tanah warisan istrinya, dibangunlah sebuah masjid dan beberapa pemondokan bagi santri laki-laki.

Ketika maletusnya pemberontakan DI/TII para anggota tarekat ini terlibat aktif dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut. 'Kemudian pada 1969 nama pesantren Pa­gendingan diubah menjadi pesantren Fathiyyah, nama yang dihubungkan dengan Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fatah, sang pendiri tarekat Idri­siyyah Indonesia.

Hingga sekarang pesantren Fathiyyah ini merupakan pusat pengembangan ajaran tarekat Idrisiyyah di bawah pimpinan Syaikh Muhammad Fathurahman, M.Ag. yang diberi mandat setelah wafatnya Syaikh Muhammad Daud Dahlan.

Sumber: www.al-idrisiyyah.com

Sekretariat Pusat
(Masjid Al Fattah)
Jl. Batu Tulis XIV no. 4-5
Jakarta 10120
Tlp./Fax: 021-3518748

Pondok Pesantren Fathiyyah Al-Idrisiyyah
Jl. Raya Ciawi KM. 8 NO. 79
Pagendingan Tasikmalaya, Jawa Barat 46153
Tlp./Fax: 0265-421157


Facebook page : AL-IDRISIYYAH INTERNATIONAL COMMUNITY

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...