Kisruh pemberitaan belakangan ini yang membahas mengenai ancaman importir film asing yang berencana menyetop pasokan film-film import di Indonesia adalah suatu hal yang tidak masuk akal (nonsense).
Meskipun Motion Picture Association (MPA) telah membantahnya (TempoInteraktif, 23/02/2011), alasan bahwa kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia dalam hal ini Ditjen Bea dan Cukai untuk mengenakan revisi bea masuk tambahan untuk film - film asing termasuk juga hutang penerimaan negara (pajak & bea), terlalu "dibesar-basarkan" kepada masyarakat untuk membentuk opini penyebab penghentian import film (jelas bahwa tujuan pembentukan opini tersebut agar revisi (penambahan) bea masuk tambahan dibatalkan atau setidaknya ditangguhkan).
Revisi bea masuk itu pun sebenarnya adalah hal yang sesuai dengan aturan dari world trade organization (WTO). Pada tahun 1994, WTO telah menetapkan WTO Valuation Agreement yang sudah diratifikasi dengan UU No.7 Tahun 1994 dan diadopsi pada UU No.10 Tahun 1995 telah diubah dengan No 17/2006 tentang Kepabeanan yang mengatur ketentuan tentang Nilai Pabean (detikcom, 23/02/2011).
Pemikiran sederhana yang dengan mudah mementahkan "gertak sambal" tersebut adalah perinsip kerja pasar. Ingat bahwa Indonesia atau mungkin cukup "Jawa" saja merupakan daerah dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi (baca: pasar yang besar) dan sudah sekian lama menjadi costumer dari film import yang pastinya tidak akan dilepas begitu saja. Harga tiket yang merupakan turunan dari berbagai biaya peroduksi hingga film tersebut bisa masuk ke dalam negeri, meskipun akan meningkat tidak akan memangkas habis peminat penonton bioskop terutama di kota-kota besar yang telah menempatkan nonton dibioskop menjadi bagian dari kebutuhan dan pola pergaulan.
Bila benar dihentikannnya pasokan film import, film lokal yang jumlahnya belum terlalu banyak tidak akan dapat mengisinya. Maka sekitar 500 layar cineplex 21 yang ada saat ini di Indonesia merupakan investasi yang teramat tinggi untuk "dibuang" begitu saja, dengan demikian film akan diimport kembali.
Hal penting yang perlu digaris bawahi, bahwa diluar misi bisnis film mempunyai misi-misi lain seperti penyebaran pengaruh politik, penyebaran budaya dan misi-misi lainnya yang tentunya akan selalu mendapat "sokongan" dari pemilik kepentinginan untuk mengedarkanya. Bayangkan saja film Hollywood yang diproduksi dengan biaya bisa mencapai 100 x lipat film lokal termahal saat ini tetap dapat disaksikan di bioskop yang sama dengan harga tiket hanya sekitar kurang dari 2 x lipat saja? Meskipun omsetnya meningkat, rasanya perbandingan tersebut terlalu memaksakan bila menyatakan hukum ekonomi yang berkerja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar