Senin, Agustus 23, 2010

Manusia Gerobak di Jakarta

Pemulung dengan gerobaknya berukuran 2 m x 1 m sebagai alat produksi sekaligus tempat tinggal bersama anggota rumah tangganya saat ini tidak jarang terjadi, mengisi sudut-sudut Jakarta. Twikromo (1999), menyebut dengan nama pemulung jalanan. Siang hari mereka berkeliling dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Pada malam hari mereka menempati emperan toko, pinggiran jalan, kolong jembatan, dan ruang publik lainnya untuk beristirahat. Harian Republika (2001) menyebutnya “Manusia Gerobak”, yaitu sekelompok penduduk Jakarta yang menghabiskan hari-harinya di atas gerobak karena tidak memiliki tempat tinggal.

Bila dilihat dari asal tinggalnya, Abdul Gofur (2009) mengkategorikan manusia gerobak menjadi dua golongan: pertama, mereka yang sebelumnya telah tinggal di kota dan, kedua, mereka yang berasal dari desa. Manusia gerobak yang masuk ke dalam golongan pertama umumnya telah memiliki pengalaman kerja terutama di sektor informal. Pilihan mereka untuk menjadi manusia gerobak didasarkan pada pengalaman kerja-kerja mereka sebelumnya yang tidak menguntungkan, akibat kurangnya pendapatan, kerugian usaha, dan ketidakbebasan. Pada golongan kedua, pilihan untuk menjadi pemulung lebih karena tergiur sosialisasi tetangga yang menjanjikan kemudahan dalam mencari pekerjaan dengan pendapatan besar di Jakarta.

Menjadi manusia gerobak merupakan sebuah proses; pengalaman-pengalaman sebelumnya turut memengaruhi pilihan. Manusia gerobak menilai bahwa pekerjaan-pekerjaan mereka sebelumnya, baik pekerjaan formal maupun pekerjaan nonformal, tidak memberikan keuntungan ekonomi berlebih untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Ada beberapa argumentasi yang melandasi alasan kenapa mereka lebih memilih pekerjaan memulung daripada pekerjaan di sektor informal lainnya.
Pertama, meningkatnya pasar barang-barang bekas.
Kedua, tingkat konsumsi masyarakat perkotaan yang tinggi jelas akan menyisakan banyak sampah.
Ketiga, pekerjaan memulung tidak membutuhkan modal (uang) yang banyak.
Keempat, pekerjaan memulung berisiko kerugian yang relatif kecil.
Kelima, pilihan menjadi manusia gerobak lebih didasarkan pada keinginan untuk menjalani hidup yang bebas, bekerja tidak di bawah tekanan dan tidak terkungkung dalam kekuasaan orang lain yang dengan sesuka hati memerintah, mengawasi, dan memberikan target tertentu.

Kisah-kisah manusia gerobak menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseharian mereka. Dari sini lahirkan atribut kehidupan kemiskinan yang divisualisasikan dengan komunitas manusia gerobak. Mereka menghadapi tekanantekanan struktural seperti penggusuran dari pihak yang menganggap bahwa mereka merupakan sumber kekumuhan dan perusak ketentraman yang sulit diatur dan hanya menjadi permasalahan bagi kota.

Kalau sudah begini apa yang harus dilakukan? Kembalikah kepada negara yang berkewajiban menjamin kehidupan fakir-miskin dan anak yatim dan telantar? Atau ada solusi lainnya?

sumber :  Abdul Gofur ; efbez.blogspot.com ; Dm Ramdan

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...